Game of Thrones Fan Theory: What Will Happen in Season 7?

Tags

, , , ,

What I think will happen to the major houses in Game of Thrones season 7:
 
House Lannister
Cersei Lannister has secured her place as a queen, but it was the beginning of an end. Her recent political move literally made her the most hated ruler of Westeros. She has no support from the people and from any other houses in Westeros. Even House Tyrell, the Lannisters’ most formidable ally has already pledged its alliance to House Targaryen. House Frey? LOL. However, we shouldn’t underestimate Cersei. Not when she has lost all her children. I imagine Cersei will become very ‘evil queen’-like in the next season, killing everyone who approach King’s Landing with wildfires. We also have no idea to what extent Qyburn’s researches will help Cersei and her military might. We already knew The Mountain has became an undead thanks to him.
 
House Stark
This will be interesting. While Jon Snow was declared King in the North, he lacks political skills which are essential to play the game of thrones. For now, the Lannisters, Ironborns (Euron Greyjoy), and White Walkers are not his primary enemy. He should worry more about Littlefinger. Sansa Stark, with her current political competence will help Jon dealing with this matter I assume. But Littlefinger should never be underestimated. Not when he can easily switch his alliance to Cersei Lannister. Now the most interesting part is the return of Bran Stark. He knew that Jon is not his own half-brother which made Jon’s entire legitimacy in the north invalid. Also, do not forget that Bran is the more legitimate heir to the Winterfell. Should Littlefinger grip his venom to Bran (and probably Sansa too), it will be very intriguing (I know, it will also be so unfortunate either). I am also curious about Arya Stark. Where will she take parts in here? Or will she just head straight to King’s Landing to finish her list?
 
House Targaryen
Once, Daenerys was just a little girl given to Dothraki Khal as a piece of meat. Now, she is a a conqueror, a queen, loved by her people. Daenerys is an ideal portrait of a ruler. She possess all good qualities of a leader. Not to mention she has Tyrion Lannister, her most reliable advisor by her side. Now, more than ever, she probably has the largest army than any houses since she conquered the entire Essos and cemented the alliance to Tyrells and Martells (hey, Varys should also get special mention too for this matter). And of course, her dragons. I nearly forgotten XD At a glance, things are going extremely well for house Targaryen. But tthere might be some twist. You know, something has been bothering me. There are many occurrences that hints Daenerys going mad. Her inner voices (in books), her advisors constantly reminding her, and her emotional streaks at times. I imagine that she will be the mad queen… Now I do not want this to happen. I love her, really. Her growth, her characters. But one thing that we should never forget is that Game of Thrones always kill the people that we love.

Obat Melawan Prasangka: Mekanisme dibalik Efektifitas Kontak Antar Kelompok

Tags

, , , , , , ,

Seringkali, kita lebih senang berinteraksi dengan mereka yang mirip atau sama dengan kita. Entah itu kesamaan yang melekat pada fisik kita seperti jenis kelamin, usia, kemenarikan fisik, etnis sampai kesamaan yang tidak langsung nampak seperti status sosial, hobi, nilai-nilai, keyakinan, atau ideologi yang dimiliki. Tidak jarang kita melihat kelompok-kelompok yang terbentuk atas kategorisasi-kategorisasi itu. Ikatan mahasiswa Asal A, Partai Politik B, Aliansi Pecinta X, dan lain-lain. Indeed, burung-burung dengan bulu yang sama akan mengelompok di tempat yang sama.

Meski berinteraksi dengan sesama kelompok kita bisa sangat menyenangkan, ini bisa menjadi cukup berbahaya pula terutama saat kelompok kita jarang berinteraksi dengan anggota kelompok lain. Mengapa berbahaya? Ketika individu-individu dari sebuah kelompok (ingroup, selanjutnya disebut IG) jarang berinteraksi dengan anggota kelompok lain (outgroup, selanjutnya disebut OG), maka prasangka terhadap OG cenderung tumbuh subur (Allport, 1954). Sebagai contoh, individu dari kelompok minoritas Tionghoa beragama Kristen di Indonesia nampak tidak banyak berteman dengan individu dari kelompok mayoritas Melayu beragama Islam di Indonesia. Ini menyuburkan prasangka dari kelompok minoritas ke mayoritas, begitu pula sebaliknya.

Obat melawan prasangka sebetulnya cukup straightforward. Biarkan anggota-anggota kelompok itu saling berinteraksi satu sama lain dan sikap positif terhadap anggota OG pun akan tumbuh. Sebaliknya, prasangka akan berkurang (Allport, 1954). Klaim ini merangsang sebuah teori dengan perkembangan riset yang sangat produktif sampai detik ini, yaitu hipotesis kontak. Meta-analisis 515 studi oleh Pettigrew dan Tropp (2006) telah berhasil menyimpulkan bahwa kontak antar kelompok memang mengurangi prasangka. Efek ini telah dibuktikan lewat studi-studi korelasional maupun studi-studi eksperimental. Tulisan ini mencoba untuk memberikan pemahaman tentang bagaimana interaksi antar kelompok itu bisa memperbaiki atau menjadi obat bagi prasangka.

Namun demikian, apakah efek itu bisa terjadi begitu saja? Barangkali tidak. Allport sendiri memberitahukan bahwa ada empat kondisi yang harus terpenuhi agar kontak bisa efektif. Empat kondisi itu antara lain (Allport, 1954): 1. Adanya kesamaan tujuan. Contohnya, manusia bisa bersatu ketika ada musuh bersama yaitu alien yang ingin menghancurkan bumi. 2. Adanya dukungan dari institusi. Sebagai contoh, konflik antar suku mungkin bisa dimediasi ketika pimpinan struktural dari kedua suku atau pemerintah pusat mendukung hubungan antar kelompok yang positif. 3. Adanya kesetaraan status. Kelompok yang saling berinteraksi tidak boleh dibeda-bedakan berdasarkan rendah atau tingginya status dalam masyarakat. 4. Adanya kerjasama antar kelompok. Jika ada pertukaran atau perdagangan dari kelompok satu dan kelompok lain, kontak bisa efektif. Sering kita saksikan penyelesaian perang dan interaksi dimulai lewat pernikahan dari petinggi-petinggi kedua kelompok atau pertukaran lainnya. Meski empat kondisi itu menjelaskan kontak seperti apa yang efektif, bagaimanakah sebetulnya kontak itu bisa mengurangi prasangka?

Eksplorasi Tiga Mekanisme

Lewat meta-analisis yang dilakukan dua tahun setelah meta-analisis sebelumnya, Pettigrew dan Tropp (2008) memperoleh kesimpulan bahwa kontak mampu mengurangi prasangka lewat tiga mekanisme: 1. Empati yang muncul akibat kontak, 2. Kecemasan yang berkurang akibat interaksi, dan 3. Pengetahuan yang telah dimiliki tentang OG. Ketiga mediator ini akan dibahas satu persatu.

Dorongan untuk berempati

Pernahkah kamu tiba-tiba diajak mengobrol oleh orang yang tidak kamu sangka akan berinteraksi denganmu? Katakanlah ia berasal dari etnis yang berbeda dan kamu tidak pernah berinteraksi dengan dia sebelumnya. Apa yang kamu rasakan? Mungkin kamu merasakan kecemasan. Tapi seiring kita berinteraksi dengan dia, kita tahu seperti apa keseharian dan perilaku-nya lebih daripada apa yang kita ketahui sebelumnya. Kita jadi tahu bagaimana mereka sebetulnya dan mungkin saja penilaian atau prasangka kita kepada mereka sebelumnya sirna. Ketika individu berinteraksi dengan OG, ia akan cenderung lebih bisa memahami apa yang dipikirkan oleh kelompok lain dan seperti apa perasaan kelompok lain itu. Disini, individu dari IG akan lebih berempati terhadap OG. Empati ini mengarahkan orang-orang IG untuk tidak berprasangka lagi dan memegang sikap positif terhadap OG.

Salah satu studi yang mendukung efek mediasi empati ini adalah eksperimen oleh Todd, Bodenhausen, Richeson, dan Galinsky (2011). Mereka mencoba melihat apakah mengambil perspektif dari OG dapat mempengaruhi keinginan untuk berinteraksi dan pengalaman yang lebih positif dengan OG. Mereka mengukur itu dengan ekspresi-ekspresi nonverbal. Studi-studi lain bahkan juga telah menemukan asosiasi serupa dalam konteks kelompok berkonflik seperti empati orang Italia terhadap imigran dan empati orang Protestan dan Katolik kepada one another (Tropp & Page-Gould, 2015).

Menangani persepsi akan adanya ancaman: Kecemasan yang berkurang

            Bayangkan seorang anggota FPI (Front Pembela Islam) tiba-tiba melihat kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Menurutmu apakah yang akan terjadi? Jika tidak takut luar biasa, mungkin ia akan jijik luar biasa. Atau mungkin tidak perlu se-ekstrim itu. Bagaimana jika kelompok Islam Sunni melihat orang dari kelompok Islam Syiah? Mungkin mereka tidak mau berinteraksi karena cemas dan merasa terancam (Stephan & Stephan, 1985). Namun demikian, apabila individu itu berinteraksi secara intens dengan individu-individu dari kelompok LGBT, ia mungkin tidak akan lagi merasakan takut sebagaimana sebelum ia berinteraksi. Mengapa demikian?

Jawabannya adalah karena interaksi yang dilakukan dengan OG akan berangsur membuat individu merasa nyaman dan tidak lagi merasa terancam. Saat individu tidak lagi merasa terancam, maka efek kontak antar kelompok menjadi lebih positif sehingga sikap terhadap anggota kelompok lain pun menjadi lebih positif. Kecemasan itu sendiri umumnya juga terjadi dan tidak hilang manakala interaksi itu penuh dengan tuntutan, kelompok yang menjadi obyek prasangka itu berekspektasi mereka akan ditolak, dan kelompok yang berprasangka berusaha untuk tidak menunjukkan tanda-tanda prasangka.

Peranan Pengetahuan

            Variabel ketiga yang mampu menjelaskan proses dibalik efek kontak adalah pengetahuan yang dimiliki seorang individu terhadap OG. IG yang berinteraksi dengan OG akan memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru tentang OG. Meski demikian, dibandingkan dengan empati dan kecemasan, efek mediasi dari pengetahuan jauh lebih lemah. Sehingga pengetahuan mengenai OG dianggap tidak terlalu berkontribusi untuk menurunkan prasangka. Bahkan, dipertanyakan juga apakah pengetahuan itu juga justru malah mengarahkan pada stereotip terhadap OG yang lebih kuat? Sebagai contoh, riset oleh Gries, Crowson, dan Cai (2011) menemukan bahwa pengetahuan bisa menjadi pedang bermata dua. Pengetahuan orang Amerika mengenai orang China justru malah mengarahkan mereka untuk semakin memegang sikap negatif terhadap orang China daripada berefek positif.

Kesimpulan

            Jadi bagaimanakah kontak bisa menjadi obat melawan prasangka? Untuk memahami ini kita perlu memahami dua hal. Pertama, seperti apakah kontak yang efektif itu? Ada empat cara dimana kontak bisa berefek positif: 1. Kedua kelompok harus berstatus setara, 2. Kedua kelompok harus melakukan kooperasi, 3. Kedua kelompok harus memiliki tujuan bersama, 4. Kedua kelompok harus mendapatkan dukungan dari institusi formal. Masing-masing cara ini mungkin bisa merevelasi kontak seperti apakah yang efektif itu. Meski demikian, meta-analisis telah menemukan bahwa ke-empat cara itu tidak selalu harus ada dalam konteks kontak. Tanpa adanya empat hal itu, efek kontak juga masih bisa terjadi.

Adapun efek kontak lebih dapat dijelaskan prosesnya lewat tiga mekanisme. Mekanisme pertama adalah munculnya empati akibat kontak. Empati terhadap OG membuat IG lebih bersikap positif terhadap kelompok lain. Mekanisme kedua adalah absennya kecemasan akibat interaksi. Tanpa adanya persepsi keterancaman, prasangka akhirnya bisa menurun. Mekanisme ketiga adalah pengetahuan tentang OG. Meski demikian, mekanisme ketiga ini dianggap lemah efeknya.

Daftar Pustaka:

Allport, G. (1954). The nature of prejudice. New York: Doubleday Anchor Books.

Gries, P. H., Crowson, H. M., & Cai, H. (2011). When Knowledge Is a Double-Edged Sword: Contact, Media Exposure, and American China Policy Preferences. Journal of Social Issues, 67(4): 787-805.

Pettigrew, T. F., & Tropp, L.R. (2006). A Meta-Analytic Test of Intergroup Contact Theory. Journal of Personality and Social Psychology, 90(5): 751-783.

Pettigrew, T. F., & Tropp, L. R. (2008). How does intergroup contact reduce prejudice? Meta-analytic tests of three mediators. European Journal of Social Psychology, 38(6), 922–934. http://doi.org/10.1002/ejsp.504

Stephan, W. G., & Stephan, C. W. (1985). Intergroup anxiety. Journal of Social Issues, 41, 157–175. doi:10.1111/j.1540-4560.1985.tb01134.x

Todd, A. R., Bodenhausen, G. V., Richeson, J. A., & Galinsky, A. D. (2011). Perspective taking combats automatic expressions of racial bias. Journal of Personality and Social Psychology, 100, 1027–1042.

Tropp, L. R. & Page-Gould, E. (2015). Contact between groups. Dalam Mikulincer, M., Shaver, P. R., Dovidio, J. F., & Simpson, J. A. APA handbook of personality and

Performa Kelompok: Dua Determinan

Tags

, , , , , ,

Mengapa kita bergabung dalam kelompok? Ada banyak alasan mengapa. Kita bergabung dalam kelompok pertemanan karena menyenangkan berkumpul bersama mereka. Kita bergabung dalam kelompok identitas tertentu karena kita merasa sebagai satu kesatuan dengan orang-orang itu. Namun kebanyakan dari kita bergabung dalam kelompok karena kita harus melakukan tugas bersama-sama. Ada banyak tugas yang tidak mungkin kita kerjakan jika kita sendirian. Faktanya, umat manusia hidup bergantung dengan sesamanya untuk mencapai tujuan setiap waktu. Sebagaimana semut atau lebah, kita adalah makhluk yang berevolusi untuk kerja sama (Haidt, 2012).

Kerjasama dengan skala besar paling banyak kita temui dalam organisasi dan industri. Setiap orang masuk ke dalam kelompok untuk menyelesaikan berbagai jenis performa. Kerjasama dan interdependensi dibutuhkan karena hasil akhir bergantung pada performa masing-masing orang dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil. Pada kelompok-kelompok kecil ini, faktor-faktor individual seringkali tidak dapat dilepaskan. Oleh karenanya, determinan psikologis menjadi penting demi menciptakan performa kelompok yang efektif. Adapun dua determinan atau aspek psikologis yang penting dalam pembahasan performa kelompok adalah motivasi individu untuk bergabung dalam kelompoknya dan koordinasi antar angota kelompok (Nijstad, 2013).

Motivasi Anggota Kelompok

Motivasi individu adalah faktor yang harus selalu ada dalam proses kerja kelompok. Tidak ada performa kelompok tanpa adanya motivasi dari anggota-anggota kelompok untuk berperforma. Bicara tentang motivasi, ada studi-studi eksemplar yang relevan dalam pembahasan performa kelompok. Pertama, seringkali performa justru meningkat saat seseorang bekerja tidak sendirian. Studi oleh Triplett menunjukkan bahwa performa individu lebih cepat saat bekerja berpasangan daripada bekerja sendirian (Triplett, 1988 dalam Nijstad, 2013). Ketika ada orang lain mengobservasi kerja kita, nampaknya performa kita akan terfasilitasi. Kedua, seringkali sulit untuk mengontrol performa kelompok dengan jumlah sangat besar. Semakin banyak orang, bukan berarti pekerjaan akan lebih baik. Studi oleh Ringelmann menunjukkan bahwa efektivitas performa menurun seiring meningkatnya group size. Efek ini disebut sebagai Ringelmann Effect (Ringelmann, 1913). Ketiga, distribusi kemampuan anggota dalam sebuah tim nampaknya punya peranan untuk menentukan apakah kerja kelompok akan efektif atau tidak. Studi oleh Kohler menemukan bahwa saat kemampuan anggota kelompok tidak terlalu setara, kelompok itu bekerja lebih efektif. Ini tidak terjadi ketika anggota kelompok kemampuannya sangat setara ataupun sangat tidak setara (Nijstad, 2012). Ketiga studi ini menjadi fondasi bagi temuan-temuan berikutnya. Pertanyaan pentingnya adalah: kapan orang akan terfasilitasi motivasinya untuk melakukan performa? Kapan motivasinya justru akan terhambat atau bahkan justru hilang sama sekali?

  • Teori tentang Fasilitasi Sosial dan Inhibisi Sosial

Beberapa teori mencoba untuk menjawab kapan orang akan terfasilitasi untuk berperforma dan kapan ia akan terinhibisi performa-nya. Teori dalam payung social facilitation and inhibition (SFI), misalnya, menginvestigasi bagaimana evaluasi oleh orang lain dapat mempengaruhi performa individu. Kerja kelompok seringkali tidak mungkin dipisahkan dari evaluasi antar sesama anggota kelompok. Terkait hal ini, studi oleh Zajonc (1968) menemukan bahwa kehadiran orang lain meningkatkan dorongan atau arousal yang membuat seseorang melakukan tugas/performa lebih baik. Sebagai contoh, saat orang lain memperhatikan kita sedang bekerja, kita akan berperforma lebih baik atau lebih cepat. Akan tetapi hal ini hanya terjadi ketika tugas cenderung mudah atau telah dikuasai. Tugas-tugas yang telah dilakukan sehari-hari dapat merangsang seseorang untuk berperforma lebih baik. Tetapi ketika tugas sulit atau dipersepsi sebagai asing, justru performa malah menurun.

Tetapi teori-teori lain tidak sepakat. Salah satu dari teori itu adalah distraction conflict theory oleh Baron (1986). Bukan sekadar kehadiran orang lain yang mempengaruhi performa melainkan distraksi dari orang lain yang mengganggu atensi si pekerja. Jadi, kehadiran orang lain selama tidak merangsang perhatian si pekerja tidak akan berefek kepada performa seseorang. Disini terjadi konflik atensi dimana seseorang harus mengalokasikan atensi untuk tugas yang dilakukannya sambil merasa di-evaluasi performa-nya. Mencurahkan atensi untuk orang lain secara langsung membuat atensi untuk bekerja lebih baik semakin tinggi. Namun demikian temuan terbaru menunjukkan bahwa kapasitas atensi seseorang dan bukan konflik atensi yang berefek pada performa. Semakin baik kapasitas seseorang dalam mengalokasikan atensi-nya untuk berbagai tugas, maka performa akan semakin baik. Dengan kata lain, performa akan meningkat ketika tugas yang dilakukan hanya membutuhkan atensi yang tidak signifikan. Ini biasanya terjadi ketika tugas-tugas relatif mudah. Sebaliknya, ketika tugas sulit maka atensi yang dibutuhkan sangat besar. Ini membuat seseorang tidak mampu mengalokasikan atensi-nya ke berbagai tugas dengan baik.

Akan tetapi ada bantahan lagi dari teori lainnya. Menurut teori mere effort (Harkins, 2006), bukan hanya sekedar kehadiran orang lain ataupun atensi yang mengarahkan pada performa tinggi. Faktor yang berperan adalah ekspektasi seseorang terhadap evaluasi dari orang lain. Semakin seseorang mempersepsikan bahwa orang lain mengevaluasi performa-nya, maka pekerjaan-nya akan semakin terpengaruh. Lagi-lagi, ini terjadi hanya ketika tugas relatif mudah dan justru tidak terjadi ketika tugas relatif sulit. Nampaknya, ketiga teori saling berbantahan. Padahal, ada kesempatan untuk mengintegrasi ketiga teori itu (Nijstad, 2013). Ketiga teori dapat diintegrasikan. Kehadiran orang lain (teori drive Zajonc) menarik atensi (teori distraction conflict) dan membuat seseorang berekspektasi bahwa performa mereka sedang dievaluasi (teori mere effort). Ini dapat meningkatkan performa.

  • Teori Tentang Pengaruh Peran Anggota Kelompok

Sebagaimana ditemukan dalam eksperimen Ringelmann (1913), semakin besar ukuran kelompok, semakin tidak efektif performa individu-individu dalam kelompok. Tapi apa yang menyebabkan performa menjadi menurun ketika jumlah anggota kelompok sangat besar? Barangkali saat evaluasi tidak atau sulit dilakukan, individu dalam kelompok cenderung tidak melakukan performa secara maksimal. Ketika evaluasi tidak atau sulit dilakukan, individu cenderung melakukan social loafing dan free riding (Nijstad, 2013) dimana individu tidak melakukan performa yang diharapkan dalam sebuah kelompok. Social loafing terjadi ketika kontribusi individu tidak dapat dievaluasi atau dimonitor (Williams, Harkins, Latane, 1981). Sementara itu free riding terjadi ketika individu merasa bahwa performa miliknya tidak penting karena sudah dikompensasi anggota kelompok lain (Kerr & Bruun, 1983). Dengan kata lain, saat kelompok memiliki anggota yang banyak, ada kemungkinan individu-individu tidak berperforma maksimal karena mereka merasa tidak dimonitor dan merasa perannya tidak penting karena sudah ada orang lain yang mengerjakan.

Riset-riset tentang inaktivitas individu dalam kelompok cukup berkembang. Terkait free riding, ditemukan bahwa ada perbedaan pola yang terjadi berbeda antara orang-orang dengan kemampuan tinggi dengan orang-orang berkemampuan rendah. Untuk orang-orang dengan kemampuan rendah, free riding dilakukan karena ia merasa bahwa performa-nya nanti juga akan disalahkan/diperbaiki oleh kelompok. Jadi muncul persepsi bahwa mereka tidak perlu bekerja keras. Sementara itu pada orang-orang dengan kemampuan tinggi, free riding dilakukan karena ia merasa bahwa performa-nya tidak akan dihargai akibat yang lebih dihargai adalah mereka dengan kemampuan rendah. Sebagai contoh, ada pengusaha-pengusaha yang lebih menghargai orang-orang atau bawahan yang mau tunduk dan menurut pada mereka walaupun mungkin mereka tidak akan membawa perusahaan kemana-mana. Dibandingkan menghargai orang-orang yang vokal dan memiliki opini atau pendapat bagus, pengusaha ini lebih menghargai kepatuhan. Orang-orang yang vokal itu mungkin tidak akan berperforma atau malas berperforma karena kemampuan mereka tidak dihargai.

Disamping free riding atau social loafing, motivasi dapat melemah atau menghilang ketika kemampuan dari anggota-anggota kelompok terlalu setara atau malah sangat tidak setara. Tetapi ketika kemampuan anggota-anggota kelompok relatif tidak terlalu setara, kelompok itu bekerja lebih efektif. Fenomena ini disebut sebagai efek Kohler (dalam Nijstad, 2013). Mengapa efek Kohler bisa terjadi? Ada dua mediator yang disinyalir menjadi faktor yang mampu menjelaskan mekanisme terjadinya efek tersebut. Mediator pertama adalah evaluasi anggota yang lebih kuat (lebih baik performa-nya) kepada anggota yang lebih lemah. Anggota yang lebih kuat dapat menilai bahwa mereka memiliki kualitas lebih baik dimana ini menstimulasi terjadinya kompetisi antar anggota kelompok. Sementara itu mediator kedua adalah anggota yang lebih lemah merasa bahwa mereka harus melakukan performa dengan baik. Jika tidak, maka dirinya-lah yang akan disalahkan. Kedua mediator itu telah terbukti dalam meta-analisis yang dilakukan oleh Weber dan Hertel (2007).

Koordinasi dalam Kelompok

Motivasi anggota kelompok itu memang penting, tapi sebetulnya tidak cukup. Kurangnya koordinasi dan interdependensi juga dapat menurunkan performa. Faktanya, tim sangat identik dengan interdependensi dan koordinasi. Ini ditandakan dengan banyaknya definisi-definisi tim yang menekankan pada adanya interdependensi (Nijstad, 2013). Ada dua jenis interdependensi yaitu interdependensi tugas dan interdependensi hasil. Interdependensi tugas didefinisikan sebagai seberapa besar masing-masing anggota membutuhkan sesamanya dalam menyelesaikan tugas. Sementara itu interdependensi hasil adalah seberapa besar masing-masing anggota membutuhkan sesamanya untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Keduanya tidak harus selalu ada dalam sebuah tim, namun kalau dua-duanya ada, kepuasan kerja dan performa lebih tinggi.

  • Memori Transaktif, Model Mental Kelompok, dan Performa

Apa yang sebetulnya terjadi saat interdependensi berlangsung? Dua tradisi riset terpisah mencoba untuk menjawab hal ini. Tradisi pertama merupakan riset-riset dengan variabel sistem memori transaktif yang didefinisikan sebagai informasi dan kemampuan yang dimiliki oleh anggota-anggota kelompok dalam benak setiap anggota (dalam Nijstad, 2013). Sebagai contoh, seseorang yang memiliki memori transaktif kuat mengetahui apa saja peranan dan ekspektasi mengenai peranan dari setiap anggota kelompok. Sehingga, dengan adanya memori transaktif sangat menguntungkan performa kelompok. Misalnya saja dalam menentukan the right man untuk the right task. Jika semua orang dalam kelompok tahu bahwa si X memiliki keahlian desain visual, maka X akan menjadi orang yang kemungkinan besar tepat untuk diberikan tugas men-desain poster atau baliho. Jelas bahwa memori transaktif berkembang seiring frekuensi, intensitas, dan durasi interaksi antara anggota-anggota kelompok. Implikasinya, ketika ada anggota baru atau hilangnya anggota lama, peranan memori transaktif terhadap performa kelompok menjadi terganggu.

Sementara itu tradisi kedua merupakan riset-riset dengan variabel model mental kelompok. Adapun model mental kelompok didefinisikan sebagai mekanisme dimana manusia bisa membentuk, menjelaskan, dan memprediksikan sistem-sistem yang berlaku (Rouse & Morris, 1986). Individu dengan mental model kelompok yang baik dapat memahami mekanisme kerja kelompok dan semua elemen-elemen di dalamnya. Ia akan mengetahui elemen mana yang akan mendukung, mempengaruhi atau merusak performa kelompok. Begitu pentingnya model mental ini sehingga tanpa komunikasi sekalipun, sebuah tim dapat bekerja dengan baik jika seseorang memiliki model mental kelompok (Cannon-Bowers & Salas, 1990 dalam Nijstad, 2013). Sebagai contoh, seorang di bagian HRD perusahaan mengetahui apa saja yang harus dilakukan oleh karyawan di bagian Keuangan perusahaan. Mereka tidak perlu saling berkomunikasi untuk mengetahui bahwa semua karyawan perusahaan harus digaji setiap bulan dimana uang dikeluarkan oleh karyawan di bagian keuangan sementara pihak yang memberikan gaji adalah karyawan HRD. Model mental kelompok yang baik biasanya dimiliki oleh anggota dengan kemampuan mental atau kognitif yang kuat. Namun demikian, tidak selamanya model mental bergantung pada kemampuan mental individual. Ia bisa dilatih. Salah satu pelatihan yang bisa diberikan kelompok kepada individu-individu di dalamnya adalah pemberlakuan cross-training (Nijstad, 2013). Dalam pelatihan macam ini, seseorang dari divisi A dapat mengetahui pekerjaan orang dari divisi B apabila mereka diberi kesempatan bekerja selama beberapa waktu di divisi B begitu pula sebaliknya.

Walaupun nampaknya bicara hal yang sama atau mirip, riset memori transaktif dan model mental saling terpisah satu sama lain sehingga tidak koheren. Namun demikian, ada kemungkinan keduanya bisa diintegrasikan dalam sebuah payung teoretis. Untuk itu diperlukan sebuah perbandingan tentang fitur-fitur dari kedua tradisi riset tersebut. Perbandingan itu (Nijstad, 2013) dapat dilihat dalam tabel 1.

Tabel 1. Tabel perbandingan tradisi riset memori transaktif dan mental model kelompok

Memori Transaktif Mental Model
Menekankan pada: Keunikan peran sekaligus kesamaan Kesamaan peran
Mampu menjelaskan: Peranan dalam situasi informal Peranan dalam situasi formal
Kekurangan: Tidak menjelaskan bagaimana jika ada anggota baru Tidak menjelaskan bagaimana jika ada anggota baru

 

Kesimpulan dan Eksplorasi Faktor Lain

            Agar performa kelompok maksimal, faktor necessary-nya adalah motivasi individu-individu di dalamnya. Motivasi ini didukung dengan memeriksa bagaimana seseorang bisa terfasilitasi performa-nya dan bagaimana dinamika peranan seseorang dalam kelompoknya. Dengan melihat faktor-faktor itu, dapat diketahui bagaimana seseorang kehilangan motivasi mereka dan bagaimana seseorang melakukan performa-nya secara lebih baik. Namun ini tidak cukup. Diperlukan juga adanya interdependensi antar anggota kelompok. Interdependensi ini dapat tercapai ketika individu-individu memiliki memori transaktif dan model mental kelompok.

Disamping faktor-faktor yang telah disebutkan, ada cara lain untuk memaksimlakan performa. Seringkali, cara paling efektif untuk meningkatkan motivasi melakukan performa adalah dengan pemberian insentif kepada masing-masing individu anggota kelompok. Namun bukan sembarang insentif. Ada dua jenis insentif yang bisa diberikan tergantung dari jenis performa yang diharapkan. Performa yang membutuhkan interdependensi yang tinggi dalam tim sebaiknya diberikan secara kelompok. Sebagai contoh, proyek pekerjaan dilakukan kelompok dengan hadiah uang tunai oleh klien. Dengan pemberian insentif secara kelompok, individu merasa bahwa pekerjaannya terikat dengan pekerjaan anggota-anggota lainnya dalam tim. Sementara itu performa yang membutuhkan kompetisi tinggi dalam tim sebaiknya diberikan secara individual. Sebagai contoh, tim membungkus produk perlu diberikan insentif individual ssuai jumlah produk yang dibungkus. Semakin banyak produk yang dibungkus, semakin besar insentif. Ini akan menstimulasi kompetisi dalam tim.

 

Daftar Pustaka:

Baron, R. S. (1986). Distraction-conflict theory: Progress and problems. Advances in experimental social psychology19, 1-40.

Haidt, J. (2012). The righteous mind: Why good people are divided by politics and religion. New York: Pantheon Books.

Harkins, S. G. (2006). Mere effort as the mediator of the evaluation-performance relationship. Journal of personality and social psychology91(3), 436.

Kerr, N. L., & Bruun, S. E. (1983). Dispensability of member effort and group motivation losses: Free-rider effects. Journal of Personality and social Psychology44(1), 78.

Nijstad, B.A. (2013). Performance. Dalam Levine, J.M. Group Processes. Psychology Press.

Ringelmann, M. (1913). Research on animate sources of power: The work of man. Annales de l’Instuit National Agronomique12, 1-40.

Rouse, W. B., & Morris, N. M. (1986). On looking into the black box: Prospects and limits in the search for mental models. Psychological bulletin100(3), 349.

Weber, B., & Hertel, G. (2007). Motivation gains of inferior group members: a meta-analytical review. Journal of personality and social psychology93(6), 973.

Williams, K., Harkins, S. G., & Latané, B. (1981). Identifiability as a deterrant to social loafing: Two cheering experiments. Journal of Personality and Social Psychology40(2), 303.

Zajonc, R. B. (1968). Attitudinal effects of mere exposure. Journal of personality and social psychology9(2p2), 1.