Sebenernya dari kemaren-kemaren pengen bikin tulisan yang bisa dipersembahkan untuk hari kesehatan mental dunia yang jatuh pada tanggal 10 Oktober 2012 lalu. Ceileeh… Haha. Kebetulan, saya juga sedang mengambil mata ajar Psikologi Klinis dan Kesehatan serta Psikologi Abnormal di Semester 5 ini sehingga setidaknya, pengetahuan-pengetahuan dasar yang diperlukan untuk memahami isu kesehatan mental dunia bisa saya bahas disini meski mungkin saya bukanlah orang yang tepat untuk mengangkat isu-isu semacam ini. Saya hanya peduli dengan isu ini, dan setidaknya ada hal yang bisa saya lakukan dalam mengangkat isu ini.
Prince dkk. pada tahun 2007 menyatakan dalam artikel ilmiah mereka bahwa “there’s no health without mental health” (tidak ada kesehatan tanpa kesehatan mental). Saat ini, dan diprediksi akan meningkat pada beberapa tahun mendatang, masalah-masalah gangguan psikologis menyumbangkan 12% global burden of diseases (beban penyakit dunia). Peningkatan yang akan terjadi memprediksikan bahwa kasus depresi menjadi beban dunia nomor 2 setelah beban dunia peringkat 1, yaitu HIV/AIDS! Pada tahun 2001, WHO juga mengumumkan bahwa kesehatan mental merupakan isu yang sama pentingnya dengan kesehatan fisik karena biar bagaimanapun, kesehatan mental juga sangat mempengaruhi kesjahteraan individu, keluarga dan komunitas.
Secara global, masalah-masalah kesehatan mental saat ini masih merupakan masalah yang belum banyak dipertimbangkan secara serius. Di Amerika sendiri yang merupakan negara dengan sistem asuransi yang sudah sangat teratur, kesehatan mental masih bukan merupakan isu yang dianggap serius. Terbukti dari tidak adanya jaminan-jaminan yang bisa diberikan (seperti obat-obatan dan pelayanan kesehatan) yang bisa didapatkan oleh orang-orang dengan gangguan psikologis. Jika kasusnya seperti itu di negara yang maju, bagaimana dengan negara berkembang seperti Indonesia?
Di Indonesia, tidak ada kebijakan yang mengatur asuransi-asuransi kesehatan dapat menjamin kesehatan mental seseorang. (Kuliah KlinKesh 1 FPsi UI, 2012) Status Indonesia sebagai negara yang memiliki keterbatasan sumberdaya juga mendorong Indonesia untuk mengembangkan pendekatan berbasis komunitas dalam menyelesaikan masalah kesehatan mental. Pendekatan ini memanfaatkan tenaga-tenaga yang memiliki pengetahuan dan penguasaan di bidang gangguan kesehatan mental untuk memberdayakan masyarakat dalam menyelesaikan masalah kesehatan mental pada komunitas mereka. Melihat pendekatan ini, saya jadi berpikir. Berarti tugas mahasiswa dan lulusan psikologi di Indonesia saat ini sebenarnya cukup berat dalam menyadarkan masyarakat soal isu ini. Berat, karena kesadaran masyarakat kita dalam hal ini masih dinilai sangat rendah. Belum lagi munculnya stigma dan diskriminasi terhadap orang-orang yang mengalami gangguan mental. Suka atau tidak suka, mereka dengan gangguan psikologis ada di sekitar kita dan membutuhkan bantuan kita, bukan hinaan dan diskriminasi.
Saat ini mungkin tidak ada yang bisa saya lakukan secara nyata dalam menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya isu ini. Namun, seperti yang telah disebutkan pada judul artikel ini, setidaknya saya bisa memberikan pemahaman lewat tulisan mengenai fakta-fakta dalam perilaku abnormal dan gangguan mental yang mungkin belum banyak kita ketahui, tetapi sangat penting untuk memberikan pemahaman terhadap kita. Pemahaman ini diperlukan agar mitos-mitos dan pemahaman keliru mengenai gangguan psikologis dapat lebih kita kritisi lagi. Tidak jarang, mitos-mitos dan pemahaman keliru itulah yang justru menghambat penanganan gangguan mental dari orang-orang yang memerlukannya. Apa saja fakta-fakta tersebut?
1. Skizofrenia & Gangguan Psikotik Lain
Dalam Kring dkk. (2012), schizophrenia merupakan gangguan psikotik yang ditandai dengan tiga gejala, yaitu simptom positif (melihat dan mendengar apa yang tidak dilihat dan didengar orang, dan memiliki waham atau kepercayaan yang keliru), simptom negatif (ekspresi wajah yang tidak seharusnya, kehilangan minat pada aktivitas sehari-hari, dan frekuensi bicara yang berkurang), dan simptom tak terorganisir (pembicaraan dan penggunaan bahasa yang tidak bisa dimengerti banyak orang, perilaku tak terorganisir, dan gerakan-gerakan yang tidak bermakna).
Mitos: Orang-orang dengan schizophrenia berbahaya. Jika dibiarkan, mereka akan menyakiti kita dan mengganggu kehidupan kita sehari-hari.
Fakta: Tidak seperti yang dipercaya banyak orang, kebanyakan orang-orang yang mengalami schizophrenia sama sekali tidak berbahaya. Kebanyakan dari mereka tidak akan menyakiti kita, dan bahkan jika diberikan kesempatan dan penanganan, banyak dari mereka yang bisa berfungsi dalam pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. Bahkan, dibandingkan menjadi pelaku kekerasan, orang-orang schizophrenia lebih sering menjadi korban kekerasan dari lingkungan sekitar mereka. Tidak hanya itu, angka bunuh diri dari orang-orang schizophrenia juga sangatlah tinggi.
Mitos: Jika orangtuanya schizophrenia, pasti anaknya juga schizophrenia.
Fakta: Tidak. Schizophrenia memang memiliki faktor genetis, namun apakah anak itu mengalami schizophrenia atau tidak sama sekali tidak tergantung hanya pada genetika dan faktor neurobiologisnya saja. Lingkungan anak yang membuat anak tidak stress juga berperan sangat penting dalam menentukan apakah anak itu akan mengembangkan schizophrenia atau tidak.
2. Gangguan Cemas
Dalam DSM-IV-TR, yaitu manual untuk psikiater dan psikolog dalam mendiagnosis jenis gangguan, gangguan cemas terdiri atas gangguan fobia (fobia spesifik), fobia sosial, gangguan panik, gangguan cemas menyeluruh, gangguan obsesif kompulsif, gangguan stress akut, dan gangguan stress pascatrauma. Semua gangguan diatas melibatkan kecemasan dan rasa takut yang intens.
Mitos: Orang dengan fobia sangat jarang ditemui. Kebanyakan, orang-orang yang mengaku fobia cuma asal bicara.
Fakta: Sebenarnya, dalam kuliah psikologi abnormal kemarin, dinyatakan bahwa gangguan cemas, terutama fobia spesifik merupakan gangguan yang sangat umum terjadi. Masalahnya, hanya sedikit orang-orang yang merasa bahwa mereka memerlukan penanganan khusus dari ahli. Seandainya mereka memang memerlukan penanganan khusus, kebanyakan jika mereka sudah terlampau parah atau mengganggu kehidupan sehari-hari mereka. Jadi, fobia sebenarnya tidak se-jarang itu ditemui.
Mitos: Tidak apa-apa jika menakut-nakuti orang fobia untuk bercanda.
Fakta: Sebaiknya jangan, karena sangat berbahaya. Kita tidak pernah tahu apa yang akan dialami seseorang yang dihadapkan pada sumber rasa takut itu. Bisa-bisa, karena kalian coba-coba menakut-nakuti orang fobia, orang itu pingsan atau mengalami trauma.
Atau coba bayangkan saja jika kalian sangat takut terhadap hal-hal tertentu. Saat kalian menemui hal yang kalian takuti itu, apakah perasaan itu menyenangkan? Apakah kalian mau dihadapkan pada hal itu? Orang-orang fobia merasakan perasaan yang tidak menyenangkan itu dengan lebih intens dan kuat.
3. Gangguan Afektif (Mood) & Bunuh Diri
Gangguan afektif ditandai dengan gangguan pada emosi dan perasaan atau mood. Emosi seperti kesedihan yang ekstrim dan mudah tersinggung sampai pada perasaan depresi dan ketidakmampuan untuk merasakan kesenangan. Gangguan ini terdiri atas gangguan depresif dan gangguan bipolar (sebelumnya dinamakan gangguan manik-depresif) serta subtipe-subtipenya. Tidak jarang, gangguan ini seringkali dikaitkan dengan peristiwa bunuh diri meski banyak orang yang bunuh diri tanpa mengalami gangguan ini.
Mitos: Orang jarang berpikir mengenai bunuh diri. Hanya orang-orang yang mengalami gangguan mental saja yang sering berpikir tentang bunuh diri.
Fakta: Nyatanya, berpikir mengenai bunuh diri sangat umum terjadi bahkan pada berbagai usia kehidupan. Meskipun bunuh diri lebih sering terjadi pada pria dan pada orang-orang lansia, bukan berarti remaja dan orang-orang dewasa juga tidak melakukan tindakan ini. Biasanya, orang-orang yang berpikir untuk bunuh diri merasakan bahwa hidup sudah tidak dapat diperjuangkan lagi atau mereka ingin mengisyaratkan keinginan mereka yang tidak dapat terpenuhi kepada orang lain. Jangan anggap remeh isyarat-isyarat atau kata-kata teman, pacar, saudara, keluarga, atau orang-orang lain yang menyatakan keinginan mereka untuk mati.
Mitos: Orang-orang dengan gangguan mood terutama bipolar (manik-depresif) biasanya kreatif. Jadi, supaya kreativitas tidak hilang, lebih baik tidak perlu mengkonsumsi obat-obatan yang mengurangi gejala-gejala perilaku manik mereka.
Fakta: Memang, daftar orang-orang kreatif yang mengalami gangguan mood sama sekali tidak bisa diremehkan. Sebut saja Tchaikovsky, Michelangelo, van Gogh, Hemmingway, Virginia Woolfe, dan masih banyak lagi deretan nama seniman berbakat lainnya yang mengalami gangguan mood. Namun, bukan berarti ini menjadi alasan untuk mengatakan bahwa mereka tidak memerlukan obat-obatan. Studi-studi dari Weisberg (1994) dan Richards dkk. (1988) menunjukkan bahwa mood manik justru mengurangi kualitas pekerjaan dan kualitas produk yang dihasilkan oleh orang-orang bipolar. Jadi, obat-obatan justru membantu dan bukan mengurangi kreativitas.
(…bersambung ke: 1. gangguan makan, 2. gangguan yang dideteksi pada bayi, anak, dan remaja, 3. gangguan disosiatif dan somatoform, 4. disabilitas intelektual, 5. gangguan psikoseksual dan gangguan identitas gender, 6. gangguan kepribadian…)
Daftar Pustaka:
American Pychiatric Association (APA). (2005). Diagnostic & statistical manual of mental disorder: Text revision.
Drake, R.E., McHugo, G.J., Xie, H., Fox, M., Packard, J., & Helmstetter, B. (2006). Ten-Year Recovery Outcomes for Clients With Co-Occurring Schizophrenia and Substance Use Disorders>. Schizophrenia Bulletin, 32, 464-473.
Kring, A.M., Johnson, S.L., Davison, G.C., & Neale, J.M. (2012) Abnormal psychology, 12th Ed. NJ: John Wiley & Sons.
Prince, M., Patel, V. Saxena, S., Maj, M., Maselko, J., Phillips, M.R., & Rahman, A. (2007). No health without mental health. Global Mental Health 1, Lancet 2007; 370: 859–77. September 4, 2007. DOI:10.1016/S0140-6736(07)61238-0.
Tim Pengajar Psikologi Abnormal. (2012). Slide perkuliahan 3, 4, dan 5. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Tim Pengajar Psikologi Klinis & Kesehatan (2012). Slide perkuliahan 1 dan 2. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
World Health Organization (WHO). 2001. Mental health: New understanding, new hope. The World Health Report. Geneva: World Health Organization. ISBN 92 4 156201 3 (NLM Classification: WA 540.1). ISSN 1020-3311.