Tags
Behaviorism, Burrhus Frederick Skinner, Carl Jung, Classical Theories, Cognitive Psychology, Field Theory, Gestalt Theory, Humanistic Psychology, Kurt Lewin, Noam Chomsky, Psychoanalysis, Sigmund Freud, Social Psychology
Senin, 20 Juli 2015. Moni Orang, seorang ibu dari lima anak sedang berada dalam rumahnya yang terletak di desa Assam, India. Secara tiba-tiba pintu rumahnya diketuk secara kasar oleh banyak orang. Mereka membawa berbagai senjata seperti parang, golok, dan senjata tajam lainnya. Naas, ternyata hari itu adalah hari terakhir Moni Orang melihat anak-anaknya. Sekitar tujuh orang secara paksa membawa Moni Orang keluar rumahnya lalu membunuhnya secara brutal. Kepala Moni Orang dipenggal dan ia dimutilasi. Seorang warga desa mengaku bahwa Moni Orang adalah seorang penyihir yang mempraktikkan sihir hitam yang jahat kepada orang lain sehingga membunuh perempuan itu adalah langkah yang tepat. Namun suami Moni Orang tidak terima karena Moni Orang tidak melakukan apa-apa yang berbau sihir. Menurutnya, orang-orang membunuh Moni Orang karena provokasi seorang pendeta lokal setempat. (Kasus disadur dari Pranoto, 2015 & AFP, 2015).
Kasus tersebut bukanlah kasus yang pertama kali terjadi di India. Sebelumnya, lima puluh orang warga desa Jharkhand membunuh lima orang perempuan yang dituduh sebagai penyihir. Mereka dipukuli dan dirajam sampai tewas. Menurut polisi setempat, tidak ada tanda-tanda penyesalan dari warga desa. Bahkan, anak-anak muda yang berpendidikan pun ikut berpartisipasi dalam pembunuhan itu. Sekitar 2,000 orang telah meninggal di India sejak tahun 2000 sampai tahun 2012 karena dituduh sebagai penyihir (theguardian.com, 2015). Nampaknya ini juga telah menjadi masalah yang mendapatkan perhatian secara nasional. Meski akhirnya kontroversial, pihak perancang kurikulum pendidikan di India mengusulkan untuk mengadakan pendidikan yang mengubah keyakinan terhadap sihir (telegraph.co.uk, 2008).
Jika ditarik kembali ke masa yang lebih jauh, Eropa pernah mengalami peristiwa serupa. Sebuah buku bernama Malleus Maleficarum (The Witches’ Hammer) diciptakan oleh gereja sebagai panduan untuk menemukan, mengidentifikasi, dan melakukan krusifikasi bagi mereka yang dianggap melakukan praktik sihir (King, Viney, & Woody, 2009). Sepanjang abad kegelapan Eropa, banyak sekali perempuan yang disiksa dan dibunuh di masa ini karena dianggap telah menistai agama dengan sihir. Dengan kata lain, fenomena semacam ini tidak hanya ditemui di India, melainkan di zeitgeist lainnya. Penekanan ini penting agar masalah spesifisitas budaya tidak menjadi persoalan dalam pembahasan.
Apa yang menyebabkan masyarakat bisa melakukan pembunuhan terhadap mereka yang dianggap mempraktikkan ilmu sihir? Bagaimana psikologi sosial mampu menjelaskan ini dari berbagai pendekatan yang dimilikinya? Disini akan dijelaskan bagaimana proses atau mekanisme psikologis yang terjadi pada masyarakat dari tiga pendekatan klasik dalam psikologi sosial yaitu psikoanalisis, behavioristik, dan ilmu kognitif.
Orientasi Psikoanalisis
“The ego is not the master in its own house” – Sigmund Freud
Psikoanalisis sebetulnya merupakan teori yang diprakarsai Sigmund Freud namun memiliki banyak variasi teori dari penerus-penerus Freud diantaranya Carl Jung, Alfred Adler, Erich Fromm, Karen Horney, John Bowlby, Harry Stack Sullivan, dan sederetan nama-nama lainnya. Meski demikian, asumsi seluruh teori itu bisa dibilang relatif sama, yaitu bahwa pengalaman masa lalu yang tersimpan dalam ketaksadaran penting untuk memahami perilaku seseorang saat ini (King, Viney, & Woody, 2009). Disini difokuskan hanya pada teori-teori yang relevan dengan kasus yang ingin dibahas, diantaranya teori Sigmund Freud dan teori Carl Jung. Kedua teori digunakan sebagai senjata analisis karena dianggap merepresentasikan penjelasan atas alasan mengapa bisa terjadi pembunuhan massal terhadap penyihir.
Freud memiliki teori bahwa manusia memiliki kecemasan yang harus dikelola oleh Ego dalam dinamikanya memenuhi tuntutan Id dan Superego. Kecemasan menurut Freud adalah perasaan teror atau takut terhadap penyebab-penyebab yang tidak terlalu jelas (Schultz & Schultz, 2013). Kecemasan ini bisa dalam berbagai bentuk diantaranya kecemasan mengenai apakah seseorang harus memenuhi kebutuhannya saat itu juga (kecemasan neurotik), kecemasan mengenai apakah seseorang melakukan suatu kesalahan etis (kecemasan moral), dan kecemasan mengenai peristiwa-peristiwa yang mengancam seseorang (kecemasan realistik). Seseorang memiliki insting untuk bertahan dalam menghadapi kecemasan-kecemasan itu. Freud menyebutnya sebagai defense mechanism (mekanisme pertahanan).
Mekanisme pertahanan yang dilakukan individu bisa dalam berbagai bentuk mulai dari yang paling primitif (misal: denial) sampai yang paling dewasa (misal: sublimasi). Salah satu dari mekanisme-mekanisme pertahanan itu adalah represi, yaitu secara tidak sadar menekan atau mencoba menghilangkan sesuatu yang menyebabkan kecemasan. Sebagai contoh, anak laki-laki menekan keinginannya untuk bersenggama dengan gurunya. Mekanisme pertahanan lainnya yaitu reaksi formasi. Suatu impuls yang menyebabkan kecemasan dilawan dengan mengekspresikan impuls yang sebaliknya (Schultz & Schultz, 2013). Sebagai contoh, anak yang membenci ibunya menunjukkan kasih sayang yang berlebihan terhadap ibunya. Ini dikarenakan anak tahu mengenai tabu bahwa anak tidak boleh membenci ibu sendiri. Sehingga, ia secara tak sadar melakukan ekspresi menjadi kutub yang berlawanan. Jika ia menunjukkan kebencian terhadap ibu, ia akan dihukum secara sosial oleh karena itu ia menunjukkan kasih sayang kepada ibu.
Bagaimana kaitannya dengan kasus pembunuhan penyihir? Jika mengambil teori diatas, kita bisa memprediksikan seperti apa dinamika intrapsikis dari para pelaku agresi terhadap si terduga penyihir itu. Altemeyer (2006) menekankan bahwa agresi authoritarian (otoriter) dapat terbentuk lewat mekanisme Freudian. Seseorang yang otoriter dididik dalam lingkungan orangtua atau keluarga yang tidak mengizinkan perubahan terhadap tradisi, ekspresi yang berbeda, dan pembangkangan. Seorang anak harus tunduk pada orangtuanya. Oleh karena itu, saat anak tidak setuju atau ingin melawan orangtuanya, maka anak akan menerima hukuman. Dorongan anak untuk melawan akhirnya direpresi. Tidak hanya itu, terjadi juga reaksi formasi terhadap orangtua. Anak menjadi patuh, setia, dan mencintai orangtuanya. Tapi dorongan melawan tetap ada dalam ketaksadaran anak. Dorongan ini harus diekspresikan. Oleh karena ia tidak bisa diekspresikan kepada orangtua, maka dorongan agresi ini harus diekspresikan kepada obyek yang dibenci orangtua, yaitu orang-orang yang menyimpang dari tradisi.
Disitulah benang merahnya muncul. Orang-orang menjadi sangat agresif terhadap orang yang dianggap menyimpang karena perilaku agresi itu adalah dorongan yang mengendap dalam ketaksadaran akibat tabu yang diberlakukan orangtua dan sistem sosial. Agresi akhirnya diarahkan kepada orang-orang yang dibenci orangtua dan sistem sosial. Dalam kasus di India, penyihir tidak diterima oleh masyarakat secara umum. Sebagai konsekuensinya, orang yang dianggap penyihir rentan mengalami agresi dari orang-orang yang memiliki otoriter. Apalagi, disini juga muncul rasionalisasi terhadap penyihir dimana penyihir diyakini mampu mengutuk dan membahayakan desa (telegraph.co.uk, 2008). Orang-orang yang mempertahankan tradisi (otoriter atau authoritarian) tidak mau menerima penyimpangan terhadap tradisi yang dilakukan anak-anak mereka atau yang dilakukan suatu kelompok minoritas. Konsekuensinya, anak dan kelompok minoritas itu dihukum secara agresif.
Lain halnya dengan Carl Gustav Jung dengan teori ketaksadaran kolektif-nya. Bagi Jung, Freud terlalu memberi penekanan pada pengalaman individual dan mengabaikan kenyataaan yang lebih penting, yaitu bahwa manusia memiliki dorongan-dorongan yang diwariskan leluhur sejak masa lampau (Feist & Feist, 2008). Jung beranggapan bahwa ada dorongan-dorongan yang tidak kita sadari namun membentuk perilaku kita. Dorongan itu merupakan akumulasi dari pengalaman-pengalaman yang telah diwariskan sejak manusia primitif dan manusia awal sampai sekarang. Pengalaman-pengalaman itu bersifat universal dan relatif menetap dari waktu ke waktu (Schultz & Schultz, 2013) dimana ia menjadi bagian dari kepribadian seseorang. Oleh karenanya, individu memiliki disposisi untuk berperilaku dan merasakan sebagaimana nenek moyang manusia berperilaku. Sebagai contoh, kita akan merasakan takut saat gelap begitu pula nenek moyang kita dan kebanyakan orang di sekitar kita. Pengalaman masa lalu yang muncul dimanifestasikan dalam tema-tema yang muncul dalam berbagai pola, kisah, dan tokoh dimana tema-tema ini disebut Jung sebagai arketipe.
Arketipe-arketipe tercetak dalam intrapsikis kita. Jumlah arketipe ini sesuai dengan seberapa banyak pengalaman yang dimiliki manusia umumnya (Schultz & Schultz, 2013). Ada arketipe Wise Old Man yang merupakan representasi dari karisma dan kebijaksanaan, ada arketipe Great Mother yang merupakan representasi dari ibu yang penyayang sekaligus juga penghukum, ada arketipe Hero yang merupakan representasi dari perlawanan terhadap kejahatan, dan lain sebagainya. Ada juga arketipe Wise Woman yang merepresentasikan keilmuan dalam diri perempuan. Toni Wolff (kekasih Jung yang juga seorang psikoanalis) mengidentifikasi dua jenis arketipe Wise Woman, yaitu Prophetess yang merepresentasikan ilmu putih dan Witch yang merepresentasikan ilmu hitam (penyihir).
Arketipe Witch adalah arketipe yang melekat pada perempuan-perempuan yang dianggap penyihir yaitu mereka yang mempraktikkan keilmuan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan jahat. Reaksi terhadap perempuan yang memiliki kekuasaan semacam ini adalah negatif, apalagi jika terdapat budaya patriarki yang kuat (Tong, 2009). Maka wajarlah saat arketipe Witch muncul di India dimana budaya patriarki sangat kuat, maka timbullah reaksi negatif pada masyarakat terhadap orang yang terduga sebagai penyihir. Meminjam terminologi feminisme, perempuan dengan kekuatan seringkali ditakuti dalam budaya patriarki sehingga perempuan mengalami agresi dari masyarakat (Tong, 2009). Hal yang sama juga terjadi dalam pembantaian para penyihir di Eropa.
Orientasi Behaviorisme
“The environment shapes people’s actions.” – Burrhus Frederick Skinner
Jika psikoanalisis memberikan penekanan pada peran dinamika intrapsikis dalam memprediksi perilaku, behaviorisme beranggapan bahwa peran intrapsikis sama sekali tidak penting. Dalam bentuk radikalnya, behaviorisme memiliki anggapan bahwa perilaku manusia hanya merupakan kumpulan respon dari stimulus-stimulus yang berada dalam lingkungan. Lalu bagaimana sebuah perilaku bisa terbentuk berdasarkan behaviorisme? Thorndike mengemukakan bahwa perilaku manusia terbentuk karena adanya mekanisme penguatan (Domjan, 2015). Sementara itu berbagai teori memiliki gagasannya masing-masing tentang bagaimana perilaku terbentuk. Diantara teori-teori tersebut yaitu teori pengkondisian klasik oleh Ivan Pavlov, teori pengkondisian instrumental oleh Skinner, teori belajar sosial oleh Albert Bandura, dan lain-lain. Meski memiliki pendekatan berbeda-beda, semua teori sepakat bahwa belajar adalah asosiasi antara dua atau lebih stimulus yang menghasilkan perubahan tingkah laku dimana perubahan itu relatif menetap (Domjan, 2015). Disini kasus pembunuhan terhadap penyihir akan terfokus pada teori-teori social-reinforcement exchange.
Homans memiliki teori bahwa pada dasarnya interaksi atau hubungan sosial yang dilakukan memiliki dasar ekonomi, dimana interaksi atau hubungan yang membawa keuntungan pribadi akan terus dipertahankan atau dilakukan sementara interaksi atau hubungan yang membawa kerugian akan melemah (Shaw & Constanzo, 1982). Dalam teori yang disebut sebagai behavioral and sociological model of social exchange, Homans percaya bahwa prinsip memaksimalkan keuntungan dapat diaplikasikan pada konteks sosial kelompok ataupun lebih luas lagi adalah konteks masyarakat. Keberlangsungan suatu organisasi interaksi sosial bergantung pada pemeliharaan hasil yang menguntungkan dalam interaksi-interaksi di organisasi sosial.
Dengan tujuan menentukan prinsip-prinsip yang mendasari hubungan sosial, Homans membentuk enam proposisi yang berlaku dalam semua interaksi sosial (Shaw & Constanzo, 1982). Proposisi pertama menyatakan bahwa semakin sering tindakan-tindakan yang dilakukan seseorang mendapat keuntungan, maka semakin sering pula tindakan-tindakan itu akan dilakukan orang itu. Sebagai contoh, semakin sering seseorang mendapat ucapan terima kasih saat membantu orang lain, maka semakin sering pula ia membantu orang itu. Sementara itu proposisi kedua menyatakan bahwa semakin mirip suatu stimulus yang hadir dengan stimulus-stimulus pembawa keuntungan di masa lampau, maka semakin tinggi kemungkinan seseorang untuk melakukan suatu tindakan serupa. Prinsip kedua ini merupakan prinsip generalisasi dalam tingkah laku belajar.
Jika menganalisis kasus pembunuhan terhadap terduga penyihir, berita-berita menunjukkan bahwa ada peran pendeta setempat yang dianggap memprovokasi serangan terhadap Moni Orang, terduga penyihir (Pranoto, 2015; AFP, 2015). Berdasarkan proposisi pertama Homans, mengapa tujuh orang itu bisa membunuh Moni Orang karena perilaku-perilaku yang dilakukan orang-orang itu mendapatkan keuntungan (reward) dari pendeta sehingga apa yang dianggap penting oleh pendeta akan dianggap penting pula bagi ketujuh orang itu. Keuntungan disini bukan soal keuntungan materi semata melainkan keuntungan yang sifatnya spiritual seperti ketenangan batin (kebahagiaan) saat mendengar ucapan-ucapan pendeta atau doa-doa yang dilangsungkan pendeta. Ucapan-ucapan yang membawa ketenangan batin itu merupakan konsekuensi dari tindakan-tindakan yang dianggap baik oleh si pendeta (atau agama) sehingga tindakan membunuh penyihir yang dianggap baik cenderung akan dilakukan. Sementara berdasarkan proposisi kedua, bisa jadi pendeta tidak berperan secara langsung dalam menentukan tindakan ketujuh pembunuh, melainkan stimulus lain yang serupa dengan pendeta seperti misalnya kata-kata atau firman Tuhan dalam kitab suci.
Proposisi ketiga menyatakan bahwa semakin bernilai suatu tindakan bagi seseorang, maka semakin sering ia melakukan tindakan itu. Nilai ditentukan dari apakah keuntungan melebihi kerugian. Keuntungan bisa berdasar kebutuhan biologis seperti makanan, seks, tempat bernaung atau bisa juga didapatkan dari sosialisasi seperti kebutuhan menjalin hubungan, uang, konfirmasi terhadap keyakinan. Sementara itu proposisi keempat menyatakan bahwa semakin sering suatu tindakan mendapatkan reward yang serupa di masa lampau, maka semakin tidak bernilai pula reward itu (Shaw & Constanzo, 1982).
Dalam kasus Moni Orang, ada hal-hal yang dianggap bernilai bagi ketujuh pembunuh. Bisa jadi, keuntungan yang didapatkan secara spiritual seperti terpenuhinya tuntutan agama mengalahkan biaya yang harus dikeluarkan, yaitu membunuh manusia lainnya. Bisa jadi juga keuntungan itu bersifat non-spiritual seperti pengakuan masyarakat dan pendeta. Keuntungan mungkin juga bersifat spesifik dari setiap tujuh individu itu sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang mereka miliki. Bisa jadi ada yang memiliki dendam pribadi pada Moni Orang tapi yang lain bisa jadi memiliki kebutuhan berbeda. Merujuk pada proposisi keempat, tindakan yang dilakukan orang-orang itu seharusnya memiliki reward yang sepadan dengan apa yang mereka korbankan sehingga mereka bisa melakukan pembunuhan itu.
Homans melanjutkan dengan proposisi kelima, yaitu saat seseorang tidak mendapatkan keuntungan atau reward (atau dihukum) sebagaimana diharapkan, ia akan cenderung melakukan perilaku agresif, dan konsekuensi dari tindakan agresif itu akan diperkuat. Sebaliknya, saat seseorang mendapatkan keuntungan (atau bebas dari hukuman) sebagaimana diharapkan, ia akan cenderung melakukan perilaku yang sesuai tuntutan sosial, dan konsekuensi dari perilaku itu akan diperkuat (Shaw & Constanzo, 1982). Ini terjadi pada kasus pembunuhan Moni Orang dimana Moni Orang dianggap sebagai penyihir yang memberikan kutukan-kutukan kepada desa (hukuman atau menghasilkan respon tidak menyenangkan) sehingga tindakan agresif pun akhirnya dilakukan dan dijustifikasi sebagai tindakan yang benar (diperkuat).
Terakhir, proposisi keenam menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan merupakan fungsi pilihan dimana semakin tinggi nilai suatu konsekuensi tindakan dan semakin tinggi probabilitas mendapatkan konsekuensi itu, maka semakin tindakan itu akan dilakukan (Shaw & Constanzo, 1982). Jika dinyatakan secara simplistik, pembunuh-pembunuh Moni Orang melakukan tindakan pembunuhan karena keuntungan yang akan mereka terima besar dan keuntungan itu sangat mungkin mereka dapatkan. Sebagai contoh, keuntungan pengakuan masyarakat atau penerimaan dari pendeta yang terang-terangan tidak menyukai keberadaan penyihir di desa mereka.
Teori berikutnya adalah teori equitas (equity theory). Sama seperti teori yang dinyatakan Homans, teori ini berpandangan bahwa ada prinsip ekonomi yang mendasari terjadinya suatu tindakan sosial. Namun berbeda dengan pandangan Homans bahwa seseorang cenderung mencari keuntungan semaksimal mungkin, teori equitas berpandangan bahwa keuntungan atau hasil yang didapat haruslah setara atau sama dengan investasi yang dilakukan seseorang (Shaw & Constanzo, 1982). Jadi manusia tidak mencoba untuk mencapai keuntungan pribadi dalam setiap kemungkinan, melainkan mencari sebuah titik ekuilibrium dari interaksi sosial.
Sebagaimana teori milik Homans, teori equitas juga memiliki beberapa proposisi (Shaw & Constanzo, 1982). Dua proposisi pertama adalah mengenai fungsi masyarakat sementara dua proposisi terakhir adalah mengenai konsekuensi dari adanya ketidaksamaan (inequity). Pada proposisi pertama, individu akan mencoba memaksimalkan keuntungan yang ia miliki terutama saat ia mempersepsi bahwa itu memungkinkan. Individu akan mengikuti jalan-jalan egoistik dalam mencapai sesuatu saat situasi memang memungkinkan. Sebagai contoh, individu akan mengambil uang lebih banyak untuk dikorupsi selama rakyat masih memperoleh kesejahteraan namun akan mengambil uang dalam jumlah lebih sedikit jika ternyata rakyat mengalami kesulitan ekonomi dan media gencar memberitakannya. Sementara itu proposisi kedua menyatakan bahwa kelompok dapat memaksimalkan keuntungan yang didapat setiap anggotanya dengan menerapkan sistem kesetaraan atau equitas. Kelompok juga akan memberikan reward pada orang-orang yang menerapkan equitas tetapi menghukum orang-orang yang mengambil keuntungan secara pribadi dengan merugikan orang lain atau inequitas. Proposisi ketiga menyebutkan bahwa semakin tidak seimbang (inequitas) suatu hubungan, maka semakin seseorang merasakan distres. Terakhir, proposisi keempat menyatakan bahwa seseorang akan menghilangkan distres yang mereka miliki dengan mengembalikannya pada titik ekuilibrium. Jika hubungan semakin tidak seimbang, maka semakin sulit mengembalikannya pada titik ekuilibrium.
Sebetulnya cukup sulit membayangkan bagaimana proposisi-proposisi diatas diterapkan dalam kasus pembunuhan Moni Orang. Nampak tidak terlalu jelas bagaimana distribusi keuntungan atau kerugian yang dialami orang-orang. Akan tetapi, kita bisa menganalisis kasus itu berdasarkan bagaimana perilaku Moni Orang dipersepsi oleh para pembunuh sehingga perlu dicapai sebuah ekuilibrium. Para pembunuh mempersepsi Moni Orang sebagai orang yang mampu melemparkan kutukan dan merugikan banyak orang lewat sihir-sihirnya. Ini adalah investasi yang dilakukan Moni Orang dimana terjadi inequitas yaitu satu orang mengambil keuntungan lebih besar dan merugikan banyak orang lain. Dalam proposisi dua, Moni Orang selayaknya dihukum. Dan itulah yang terjadi. Moni Orang mendapatkan hukuman mati dimana itu dianggap setimpal dengan kutukan yang ia lakukan. Jika para pembunuh tidak melakukannya, maka yang terjadi adalah inequitas dan ini menyebabkan mereka mengalami distres (proposisi tiga dan empat). Dengan kata lain, interaksi yang terjadi adalah retribusi jika mengambil dari sudut pandang teori equitas.
Orientasi Kognitif
“One would naturally expect that prediction of the behavior of a complex organism (or machine) would require, in addition to information about external stimulation, knowledge of the internal structure of the organism, the ways in which it processes input information and organizes its own behavior.” – Noam Chomsky
Jika psikoanalisis lebih banyak membicarakan soal dinamika bawah sadar dan behaviorisme lebih banyak membicarakan soal mekanisme stimulus dan perilaku overt, tidak demikian dengan orientasi kognitif. Orientasi ini tidak menerima psikoanalisis yang selain dianggap tidak ilmiah juga terlalu menekankan pada suatu proses yang tidak akan pernah bisa diketahui eksistensinya (Teo, 2005). Meski orientasi kognitif memiliki tradisi sama dengan behaviorisme (yaitu tradisi ilmu alam dalam psikologi), orientasi kognitif menolak behaviorisme mentah-mentah. Bagi tokoh-tokoh kognitif, behaviorisme terlalu mereduksi pengalaman manusia menjadi perilaku-perilaku yang bisa diobservasi padahal ada aspek-aspek psikologis yang tidak dapat dipelajari jika kita tidak memeriksa mekanisme kognitif manusia. Chomsky bahkan mengatakan bahwa behaviorisme terlalu berkutat pada hardware (perilaku luar) namun mengabaikan software (kognisi) padahal software lebih penting (Teo, 2005). Tidak hanya itu, riset-riset kepada hewan yang dilakukan oleh behaviorisme diragukan keabsahannya karena belum tentu analogi perilaku hewan bisa sama dengan perilaku manusia.
Ilmu kognitif membawa perspektif bahwa mekanisme stimulus – respon ditengahi oleh kognisi dan peran kognisi ini lebih besar atau sama pentingnya dengan peran stimulus eksternal. Sejak revolusi kognitif pada 1950 silam (Teo, 2005), banyak teori-teori yang menekankan pentingnya kognisi dalam proses sosial. Diantara teori-teori itu adalah teori konsistensi kognitif, atribusi sosiaal, evaluasi sosial, dan persepsi sosial. Pembahasan disini akan dititikberatkan pada peran teori-teori kognitif yang relevan dalam pembahasan kasus pembunuhan terduga penyihir yaitu teori p-o-x oleh Heider, sistem A-B-X oleh Newcomb, teori penilaian sosial oleh Sherif, dan teori sikap oleh Fishbein dan Ajzen.
Heider mencetuskan suatu teori tentang sentimen yang dimiliki seseorang (p) terhadap orang lain (o) dan benda-benda atau orang lain yang dimiliki atau terkait dengan o (x). Hubungan antara o dan x merupakan hubungan yang ditentukan oleh prinsip-prinsip gestalt seperti kedekatan (proksimitas), kemiripan (similaritas), dan lain sebagainya (Shaw & Constanzo, 1982). Meski p, o, x adalah entitas berbeda, Heider meyakini bahwa entitas berbeda itu bisa menjadi sebuah unit yang dianggap masuk dalam kategori sama. Saat p menyukai o dan x, maka terjadi kesetimbangan. Namun saat p menyukai o namun tidak menyukai x, terjadi ketidaksetimbangan dimana p terdorong untuk meminimalisasi ketidaksetimbangan itu. Situasi ketidaksetimbangan dibenci dibandingkan situasi kesetimbangan. Jika langsung dikaitkan dengan kasus pembunuhan penyihir, pembunuh-pembunuh (p) menganggap bahwa Moni Orang (o) adalah individu yang memiliki hak untuk hidup dan seorang ibu yang patut dikasihani. Namun karena Moni Orang memiliki kemampuan sihir (x), maka pembunuh p mempersepsikan adanya ketidaksetimbangan yang harus disetimbangkan. Cara untuk mencapai kesetimbangan diperoleh dengan mencapai konsistensi kognitif, yaitu bahwa meski Moni Orang adalah manusia atau ibu yang patut dikasihani, ia tetap seorang penyihir yang menyebabkan kesengsaraan orang lain. Sehingga konsistensi mengarah pada kebencian terhadap Moni Orang dan ini berujung pada agresi.
Teori kedua adalah teori A-B-X. Newcomb percaya bahwa interaksi sosial dipengaruhi oleh keyakinan dan sikap individu yang saling terjalin dengan keyakinan dan sikap individu lainnya. Ada kalanya jalinan sikap dan keyakinan itu tidak saling kompatibel antar individu. Saat ini terjadi, muncul dorongan yang mengarahkan pada stabilitas dari jalinan-jalinan itu. Jalinan-jalinan itu bisa bersifat simetris yaitu saat seseorang (A) menyukai suatu obyek (X) dan orang yang dikomunikasikan mengenai X (B) juga menyukai X. Sebaliknya, jalinan bisa bersifat asimetris saat seseorang (A) menyukai obyek (X) namun orang yang dikomunikasikan (B) tidak menyukai X. Saat terjadi asimetri, terjadi suatu tensi dimana muncul dorongan untuk memperoleh simetri. Pada kasus Moni Orang, terjadi asimetri dimana pembunuh (A) tidak menyukai obyek sihir (X) sementara Moni Orang (B) dianggap sebagai orang yang menyukai obyek sihir X. Konsekuensi dari asimetri ini adalah pembunuh A mengurangi ketertarikannya pada Moni Orang (B) bahkan sampai pada tahap melakukan agresi pada Moni Orang.
Teori ketiga yang digunakan untuk membahas kasus Moni Orang dari sudut pandang kognitif adalah teori penilaian sosial oleh Sherif. Muzafer Sherif (dalam Shaw & Constanzo, 1982) mengemukakan teori bahwa setiap orang membuat struktur mengenai situasi-situasi sosial. Struktur-struktur itu bisa berupa struktur internal maupun struktur eksternal yang berjalan dalam situasi dan waktu apapun. Struktur internal dan eksternal ini saling berinteraksi dan membentuk perilaku dalam satu waktu. Tidak hanya itu, Sherif juga memiliki teori mengenai efek anchoring dimana sikap terhadap suatu obyek ditentukan oleh jangkar atau batas jangkauan dari penilaian terhadap obyek itu. Jika penilaian suatu obyek berada dekat dengan batas jangkauan, maka obyek itu lebih bisa diterima. Namun jika penilaian suatu obyek berada jauh sekali dengan batas jangkauan, maka obyek itu tidak bisa diterima. Bukan hanya tidak bisa diterima, namun juga penilaian terhadap obyek itu menjauhi jangkar. Dalam menganalisis kasus Moni Orang, jangkar disini adalah tingkatan terkait perilaku-perilaku apa saja yang diperbolehkan untuk dimunculkan dalam ruang-ruang sosial. Namun orang mempersepsikan perilaku Moni Orang berada jauh di luar jangkar dimana Moni Orang melakukan sihir. Penilaian terhadap Moni Orang menjadi lebih negatif sehingga muncul tensi-tensi yang ada dalam masyarakat terhadap Moni Orang.
Terakhir, adalah teori mengenai sikap dan intensi oleh Fishbein dan Ajzen (Shaw & Constanzo, 1982). Sikap sendiri adalah respon implisit yang dipelajari individu dimana ia memiliki intensitas yang bervariasi dan ia cenderung membimbing respon perilaku individu terhadap suatu obyek. Respon implisit itu bisa berupa respon positif, negatif, ataupun netral. Sikap diiringi dengan norma subyektif dan persepsi mengenai seberapa besar seseorang bisa mengontrol suatu peristiwa mampu memprediksi intensi untuk melakukan suatu hal dimana intensi itu sendiri mampu memprediksi perilaku overt. Sebagai contoh, orang yang memiliki sikap negatif terhadap korupsi dan merasa dirinya mampu untuk melakukan korupsi sementara teman-teman di sekelilingnya juga melakukan korupsi (norma subyektif) akan memiliki intensi yang lebih tinggi untuk melakukan korupsi. Ia akhirnya melakukan korupsi. Secara mirip, dalam kasus Moni Orang teori ini bisa diaplikasikan. Pembunuh memiliki sikap negatif terhadap Moni Orang yang mempraktikkan sihir dan merasa mampu menghabisi nyawa Moni Orang. Seluruh desa membenci perbuatan Moni Orang dan mereka juga meyakini perbuatan sihir layak dihukum berat. Oleh karena itu, para pembunuh memiliki intensi tinggi untuk membunuh Moni Orang dan terjadilah pembantaian itu.
Orientasi Kognitif-Gestalt-Humanistik
“Our behavior is purposeful; we live in a psychological reality or life space that includes not only those parts of our physical and social environment to us but also imagined states that do not currently exist.” – Kurt Lewin
Teori lapangan sulit untuk dikategorisasi dalam rumpun orientasi tertentu. Ia memiliki fitur-fitur yang cocok dikategorikan sebagai orientasi kognitif dan gestalt. Akan tetapi dalam Shaw & Constanzo (1982) teori lapangan juga memiliki nilai-nilai dari pendekatan humanistik. Teori lapangan Lewin adalah contoh pendekatan humanistik yang tidak mengorbankan sistematika ilmiah; tidak seperti teori eksistensialis yang menolak segala bentuk sistematisasi pengetahuan (Feist & Feist, 2008).
Pada dasarnya sistem humanistik meyakini bahwa manusia tidak bisa dipahami melalui mekanisme bawah sadar yang deterministik dan juga tidak bisa dipahami lewat mekanisme stimulus respon yang juga deterministik (King, Viney, & Woody, 2009). Humanistik percaya bahwa aspek kesadaran manusia yang secara aktif menuju proses pengembangan diri atau aktualisasi diri lebih penting daripada hukum-hukum deterministik. Humanistik juga menolak memahami manusia dalam potongan-potongan pengalaman yang tidak bermakna. Humanistik percaya bahwa memahami manusia harus secara keseluruhan atau holistik dalam kebermaknaan pengalaman individu (Teo, 2005). Teori lapangan berangkat dari nilai-nilai ini. Pada dasarnya Lewin (pencetus teori lapangan) percaya bahwa manusia tidak bisa dilepaskan dari konteks. Konteks sosiohistoris individu selalu mengikat perilaku manusia. Dalam psikologi sosial, ada berbagai teori lapangan yang dapat menjelaskan perilaku manusia. Namun disini hanya akan dijelaskan mengenai teori lapangan sebagaimana dijelaskan Lewin.
Pada dasarnya, teori lapangan milik Lewin percaya bahwa manusia memiliki struktur-struktur spasial kehidupan dalam mind. Struktur-struktur spasial ini diperoleh lewat pengalaman-pengalaman subyektif manusia dan saling berinteraksi antara satu spasial dengan spasial lainnya tergantung karakteristik pengalaman. Ada gaya atau dorongan (force) yang bekerja dalam spasial-spasial itu apabila terjadi ketegangan dalam spasial (Shaw & Constanzo, 1982). Teori ini bisa diaplikasikan dalam psikologi sosial untuk konteks kekuasaan sosial. Dari teori lapangan bisa dipahami bagaimana kelompok menggunakan kekuasaannya untuk mengubah individu-individu di dalamnya. Gaya atau dorongan yang dimiliki kelompok A mengontrol setiap ketegangan-ketegangan yang terjadi sehingga spasial-spasial (anggota-anggota kelompok) A akan terdorong menuju A apabila ketegangan terjadi. Dengan kata lain, A memiliki kekuatan untuk menarik spasial-spasial (B) tergantung dari seberapa besar kekuatan A dan resistensi B.
Penjelasan diatas bisa diaplikasikan untuk menganalisis kasus Moni Orang. Kelompok A (kelompok desa Assam, India) memiliki gaya atau dorongan untuk mengekskresikan kekuasaannya pada spasial-spasial yang ada di dalamnya (masyarakat desa), termasuk juga Moni Orang (B). Ketegangan terjadi dimana ada spasial yang tidak harmonis dengan gaya (force) A, yaitu bahwa ada penggunaan sihir yang terlarang untuk membahayakan spasial-spasial lainnya. Ternyata ketegangan itu disebabkan oleh B sehingga A mencoba menarik B dengan cara melakukan agresivitas terhadap B. Dalam terminologi teori lapangan, agresivitas para pembunuh itu merupakan coercive force dimana ini merupakan salah satu dari lima kekuatan yang bisa dilakukan A terhadap B.
Komparasi Berbagai Pendekatan dan Kesimpulan
Dalam bagian-bagian sebelumnya sudah dijelaskan apa asumsi dasar dari masing-masing orientasi atau pendekatan. Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kasus pembunuhan terhadap terduga penyihir yaitu Moni Orang bisa ditinjau dari berbagai pendekatan dalam psikologi sosial klasik. Pendekatan-pendekatan itu diantaranya pendekatan psikoanalisis, behaviorisme, kognitif, dan kognitif-gestalt-humanistik. Psikoanalisis mampu menganalisa kasus dari bagaimana dinamika intrapsikis masa lalu mempengaruhi pembunuhan Moni Orang. Behaviorisme lebih menekankan pada proses pembelajaran dari para pembunuh sehingga pada akhirnya mereka membunuh Moni Orang. Teori kognitif lebih menekankan bagaimana proses berpikir para pelaku ini bisa mendorong terjadinya sentimen atau ketegangan pada Moni Orang. Sementara itu pendekatan kognitif-gestalt-humanistik menjelaskan peristiwa pembunuhan Moni Orang sebagai netralisasi adanya gangguan atau ketegangan dari sebuah sistem masyarakat. Kesimpulan, evaluasi dari masing-masing pendekatan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Psikoanalisis | Behaviorisme | Kognitif | Kognitif-Gestalt-Humanistik | |
Asumsi Dasar Interaksi Sosial | Bahwa pengalaman masa lalu yang mengendap dalam ketaksadaran mempengaruhi interaksi sosial masa kini | Bahwa proses asosiasi stimulus yang terjadi di lingkungan berpengaruh terhadap respon interaksi sosial | Bahwa mekanisme berpikir atau kognisi seseorang mempengaruhi tindakan apa yang dipilih dalam interaksi sosial | Bahwa sistem mendorong komponen-komponennya secara aktif untuk meminimalisasi ketegangan dalam interaksi sosial |
Ragam Teori | Freud: ketaksadaran individu dari pengalaman dengan orangtua membentuk tingkah laku sosial
Jung: ketaksadaran dari pengalaman nenek moyang membentuk tingkah laku sosial |
Homans: interaksi sosial yang menguntungkan akan dipertahankan sementara yang merugikan akan diminimalisasi
Equity Theory: interaksi sosial tergantung dari apakah hubungan timbal balik mencapai ekuilibrium dari segi keuntungan dan kerugian |
Teori p-o-x: interaksi sosial yang tidak setimbang dari p dan o terhadap x lebih dibenci sehingga harus disetimbangkan
Teori A-B-X: interaksi sosial yang tidak simetris antara A dan B terhadap X mendorong A untuk mengembalikannya pada keadaan simetris Teori Sikap dan Intensi: Perilaku dalam interaksi sosial merupakan fungsi intensi yang diperoleh dari sikap, norma subyektif, dan persepsi atas tindakan |
Lewin: interaksi sosial merupakan interaksi antar lapangan (spasial) dimana si pemilik kekuatan memiliki gaya (force) untuk menarik lapangan-lapangan lainnya |
Relevansi dengan Kasus Pembunuhan Moni Orang | Pembunuh memiliki agresi terpendam (yang mengendap dalam bawah sadar) dimana agresi ini diarahkan pada orang yang devian atau arketipe penyihir | Pembunuh telah belajar atau mengalami penguatan dari reward bahwa tindakan membunuh penyihir adalah tindakan yang pantas | Pembunuh merasionalisasi tindakannya dalam proses mental sehingga membunuh penyihir terjustifikasi | Pembunuh mencoba mengembalikan sistem sosial kepada keadaan yang harmonis sehingga gangguan dari penyihir harus dieliminasi |